Aku sadar dari
pingsan setelah pria botak itu memukulku dengan sangat keras. Dengan
penglihatan samar-samar, rasanya aku berada disebuah gubuk. Gubuknya terbuat
dari kayu dan atapnya dari ranting dan dedaunan yang sudah kering berwarna
cokelat. Tasku berada di pojok ruangan gubuk. Aku mencoba bangun dengan sisa
tenagaku. Aku juga mencoba berdiri dan berjalan keluar. Pintunya yang terbuat
dari kayu dan dedaunan kering ternyata terbuka dan aku berjalan keluar dengan
agak terhuyung-huyung. Tiba-tiba aku ingat dengan lukaku. Aku memegang wajahku.
Ternyata lukanya sudah kering. Saat aku sudah sadar betul, aku barusadar
ternyata aku tidak memakai baju dan diperutku ada sedikit memar mungkin karena
tendangan pria botak itu. Aku menengok ke tasku lagi. Ternyata sepatuku juga
ada disana. "Pasti ada orang yang membawaku" pikirku dalam hati.
Aku terus berjalan keluar dan
melewati pintu yang terbuka tadi. Setibanya aku didepan pintu, ternyata ada
jembatan kecil yang dibawahnya terdapat kolam dengan tumbuhan hijau diatas
airnya. Samar-samar aku melihat seorang pria tinggi kurus dan berambut gimbal
sedang memukul-mukul tongkatnya ke pohon yang sudah ditebang. Aku berjalan
mendekat pria itu. Seolah tidak menggubris keberadaanku sama sekali, dia tetap
dengan kegiatannya itu. Aku menatap kesekililing. Sepertinya tempat ini sudah
dia tinggali sangat lama. Halamannya yang sangat terawat. Gubuk kecilnya yang
rapi dan berada di atas kolam yang indah.
"Kamu sudah sadar?" kata
pria berambut gimbal itu sambil terus memukulkan tongkatnya
"Di mana ini?" tanyaku
"Selamat datang di
tanahku"
Pria berambut gimbal itu berhenti
memukulkan tongkatnya. Dia berbalik kearahku. terlihat wajahnya yang tenang.
Kumis dan jenggotnya yang sangat panjang seperti tidak pernah dicukur sama
sekali dan tatapannya sangat tajam.
"Ini" katanya sambil
menjulurkan mangkuk yang terbuat dari batok kelapa
"Apa ini?" tanyaku
"Ini ramuan untuk mengobati memar
diperutmu. Coba kamu oleskan ini. Mudah-mudahan kamu bisa sembuh"
Aku mencolek sedikit ramuan yang berwarna
hijau itu. Aku oleskan keprutku yang memar. Agak sedikit perih tapi tak berapa
lama terasa sejuk dibagian yang memar.
Dia terus menatapku tajam dan
berkata "Aku menemukanmu pingsan lalu aku membawamu ketanahku"
"Kamu sudah lama tinggal di
sini?"
"Sejak usiaku 25 tahun. Mungkin"
"Sekarang umurmu?"
"Aku sudah 45 tahun lebih. Mungkin"
"Lalu apa yang membuatmu
kehutan ini?"
"Itu rahasiaku. Sebaiknya kamu
jangan banyak bicara dulu. Istirahatlah dulu. Sepertinya tubuhmu belum terbiasa
dengan hutan ini. Kamu sangat kelelahan"
Aku tinggal bersamanya selama beberapa hari,
karena kondisiku benar-benar lemah. Dalam benakku, baru berhadapan dengan pria
botak itu saja sudah kelelahan, apalagi menelusuri hutan ini. Aku sempat ingin
bertanya kepada pria berambut gimbal itu tentang hutan ini, para perompak, dan
Profesor Darma. Namun dia sangat sibuk dengan dunianya. Sering menyendiri dan
hanya berbicara seperlunya saja. Setiap hari dia selalu bertingkah aneh.
Bahkan, dia sempat mengajakku memakan katak dan beberapa binatang kecil lain
secara hidup-hidup. Namun aku secara halus menolaknya.
Di sebuah pagi, aku mendapat
kesempatan bertanya. Dia sedang duduk dihalamannya. Aku mendekat dan bertanya.
"Kamu tahu seberapa jauh
tentang hutan ini?" tanyaku sambil ikutan duduk
"Banyak!. Pastinya"
Dia terus memegang tongkatnya dan
menatap kosong kedepan seolah-olah tidak menghiraukan kedatanganku.
"Kamu tahu tentang para
perompak hutan?"
"Siapa mereka? apa mereka akan
mengambil tanahku?"
"Sudah lupakan"
"Ikut aku" katanya sambil
berdiri. Tanpa pikir panjang aku mengikutinya.
Dia mengambil seekor katak kecil
yang sedang diam
"Cobalah makan ini"
katanya sambil menjulurkan tangannya yang sedang memegang katak kecil
"Tidak!" kataku yakin
"Aku kan sudah bilang, aku mau memakannya jika sudah dimasak"
"Cobalah dulu. Jangan dikunyah.
Langsung telan saja seperti ini"
Dia mengangkat tangannya dan membuka mulutnya lebar-lebar. Dia
menjatuhkan katak itu ke mulutnya dean seketika ia menelannya.
"Kamu selalu memakannya?"
"Hanya seminggu dua kali"
"Memangnya kenapa?"
tanyaku penasaran
"Itu seperti obat. Aku selalu
merasa segar dan bertenaga ketika memakannya"
Dia mengambil satu ekor lagi dan
memberikannya padaku. Kali ini aku menerima tawarannya. Mungkin setelah aku
memakannya tubuhku akan merasa lebih fit. Aku letakkan katak kecil itu
ditelapak tanganku. Aku perhatikan katak kecil itu tidak merasa terganggu sama
sekali dan tetap diam. Tiba-tiba aku ingat pesan dari kertas itu tentang
binatang dan tanaman hasil dari penelitian ilmiah. Sontak aku kaget dan secara
refleks aku mambuang katak kecil itu jauh-jauh.
"Ada apa?" tanya dia kaget
"Tidak apa-apa. Lain kali saja aku
akan memakannya"
"Kamu harus memakannya. Jika
tidak, kondisimu tidak akan pulih"
"Memangnya tidak bisa
dimasak?"
"Aku sudah pernah mencobanya.
Namun tidak ada efek apa-apa"
"Aku hanya merasa jijik"
aku memberi alasan
"Baiklah. Mungkin kamu belum
terbiasa dengan katak. Aku akan membuatkanmu masakan dari sayur dan buah yang
khasiatnya mungkin sama"
"Kenapa kamu baik
kepadaku?"
"Karena aku kesepian. Mungkin. Kamu
istirahatlah. Akan kubuatkan makanan"
Aku pun menuruti apa kata dia. Aku
berbaring di ranjang dan menunggu dia sedang memasak. Sudah empat hari lebih
aku di sini dan tubuhku masih belum pulih juga. Walaupun terlihat bugar tapi
tetap saja tubuhku kesakitan. Setengah jam dia selesai memasak. Pria itu masuk
dan mempersilahkanku untuk mencobanya. Dia membawa nampan serta makanan sayuran
yang dia sediakan menggunakan mangkuk yang terbuat dari batok kelapa. Serta air
minum dengan gelas dari bambu. Pria itu duduk di samping ranjang.
Dia menyuapiku dengan sendok
"Cobalah" katanya
Mulutku terbuka dan saat sayuran itu
masuk, sangat lezat. Perpaduan manis dan asin yang sangat pas. Bahkan aku belum
pernah merasakan makanan yang seperti ini sebelumnya.
"Sayuran apa yang kamu
masak?" aku bertanya sambil mengunyah
"Sejenis bayam. Mungkin"
jawabnya dengan raut wajah kosong
"Kamu pandai memasak juga
ya?"
"Salah satu keahlianku.
Mungkin"
"Aku ke sungai dulu. Kamu
habiskanlah makanannya"
Pria itu pergi dan meletakkan
makanannya di meja kecil dekat ranjang. Tak terasa makanan yang dia masak sudah
hampir habis. Rasanya benar-benar lezat. Sedang aku memasukkan suapan terakhir,
tiba-tiba gubuk terang oleh lampu. Aku sempat diam terpaku menghadap
langit-langit gubuk dengan mulut menganga dan sendok berisi sayuran tepat
didepan mulutku. Aku sangat kaget. Bagaimana mungkin di tengah hutan ada aliran
listrik?. Suapan terakhir aku masukkan kedalam mulutku. Lalu aku minum dan
kembali berbaring.
Sekitar sejam lebih, pria tua itu
kembali. Sambil memikul kayu bakar yang biasa ia bawa dari hutan. Setelah meletakkan
kayu bakar ditempat tumpukan kayu di depan gubuk, dia kembali masuk dan duduk
di dekat ranjang.
"Aku lupa kalau aku membuat
pembangkit listrik di sungai" katanya sambil duduk
Aku mengerutkan kedua alisku dan
bertanya keheranan "Kamu membuat pembangkit listrik?"
"Benar" katanya mengangguk
"Bagaimana kamu membuatnya?
maksudku, alat-alatnya kamu dapat dari mana?"
"Kalau itu aku lupa"
"Aku rasa kamu orang yang
jenius"
"Mungkin. Sekarang kamu mau
bertanya apa saja tentang hutan ini akan aku jawab"
Ini kesempatan besar. Mungkin pria
tua ini bisa memberiku informasi yang selama ini aku butuhkan
"Apa kamu tahu tentang para
perompak hutan?"
"Tentu. Dia sering berkeliaran
didekat sini. Tapi asal kamu tahu saja, aku orangnya pandai menyamar dan
bersembunyi. Jadi aku tidak pernah ketahuan oleh mereka"
"Lalau, apa mereka pernah ke
tanahmu?"
"Aku sengaja membuat jalan yang
rumit supaya bisa sampai di tanahku. Tidak sembarang orang bisa menemukan tanah
ini. Kecuali atas seizinku"
"Lalu apa kamu pernah melihat
binatang atau pepohonan yang aneh?"
"Aku sering melihatnya.
Kadang-kadang, aku melihat binatang yang sangat aneh dan belum pernah aku
melihat binatang itu sebelumnya"
"Apa mereka berbahaya?"
"Sangat berbahaya. Aku juga
pernah melihat salah satu dari perompak dimakan oleh bunga yang seukuran
manusia. Itu mungkin bunga pemakan daging. Bunga iut tidak terlihat dan ada
ditanah. Ketika manusia atau binatang tepat berada di atasnya, seketika bunga
itu menutup dan tidak mudah untuk dibuka ataupun kita yang tertangkap
melepaskan diri dari bunga itu"
"Teman-temanku di culik oleh
para perompak itu"
"Apa mereka baik-baik
saja?"
"Mereka menungguku. Aku rasa
mereka baik-baik saja"
"Kamu harus
menyelamatkannya" Pria itu bangkit berdiri menuju pojok gubuk dan membuka
lemari kecil. Dia mengeluarkan benda panjang dan di balut dengan kain berwarna
hitam "Benda ini mungkin bisa membantu" katanya sambil berjakan dan
duduk kembalu di dekat ranjang.
"Apa itu?" tanyaku
Dia membuka kainnya dan terlihat
seperti pedang yang dipakai oleh para samurai
"Ini pedang yang aku buat.
Pedang ini sangat tajam. Kamu bisa memotong perut kambing hanya dengat satu
kali tebasan saja"
"Kamu menyuruhku
membunuh?"
"Bukan begitu. Aku tidak
menyuruhmu membunuh manusia. Gunakanlah pedang ini sebagai perlindungan dari
binatang yang buas, juga dari tanaman yang buas"
"Itu akan sangat berguna. Tapi
aku tidak punya keahlian pedang"
"Itu tidak perlu. Apa kamu
sering menonton film atau bermain game yang menggunakan pedang dalam aksi dari
si pemeran uatamanya?"
"Sering" jawabku sepontan
"Bagus" dia menarik pedang
itu dan terlihat sangat mengkilap dan pasti itu sangat tajam "Lakukan saja
gerakan seperti film dan game. Tapi yang mudah kamu kuasai. Tubuhmu yang agak
tinggi akan cocok dengan pedang ini"
Pria itu terus-terusan menatap
pedang itu
"Tapi apa aku bisa?"
"Untuk melindungi teman, apapun
kamu akan bisa"
"Baiklah. Akan aku coba"
"Satu lagi" dia berjalan
lagi ke arah lemari itu lalu mengambil baju dan kembali duduk "Pakailah
mantel ini" dia membeberkan amntel itu. Mantelnya kira-kira panjangnya
sampai lutut. Dan warnanya hitam dan ada sedikit corak berwarna emas.
"Untuk apa mantel itu?"
tanyaku heran
"Kamu tidak bisa membawa pedang
tanpa mantel ini. Di bagian punggung, mantel ini ada semacam belt untuk membawa
pedang di punggungmu"
"Jika aku memakainya, aku akan
seperti pendekar begitu?"
"Pakai saja. Tidak ada salahnya
kan?"
"Baiklah. Kira-kira berapa lama
lagi aku akan sembuh?"
"Mungkin besok. Selamatkanlah
teman-temanmu"
Keesokan harinya badanku benar-benar
segar dan sehat. Mungkin karena masakan yang dia buat. Selama beberapa hari aku
bersamanya, dia hanya memasak serangga yang digoreng. Aku bersiap-siap dan memakai
mantel dan aku sanggakan pedang di punggungku. Pria tua itu sedang memasak
bekal untuk perjalananku. Kata pria itu, aku bisa makan buah-buahan jika
persediaan mulai habis. Dia juga mengajarkanku sedikit cara memasak tradisional
seperti yang dilakukan suku-suku pedalaman. Aku rasa, pria tua itu orang yang
sangat jenius. Mungkin saking jeniusnya hingga dia terlihat seperti orang gila.
Dia bahkan bisa menyelesaikan soal-soal matematika milik Ruhdi yang memang
sengaja di simpan dalam tasku. Dia mengerjakannya dengan sangat cepat, tidak
sampai lima menit dia berhasil menjawab dua puluh pertanyaan. Mungkin dia
setara dengan profesor.
"Ini bekalmu" kata pria
itu
Bekalnya dibalut dengan kain dan
dimasukkan kedalam tas kecil
"Terima kasih. Tapi kenapa aku
tidak boleh membawa tas besarku?"
"Biarkan saja di sini. Akan
sangat ribet jika kamu membawanya. Selain makanan, kamu harus punya bekal lagi"
"Apa itu?" tanyaku
penasaran
"Insting"
"Insting? Apa maksudmu?"
"Gunakanlah instingmu"
"Baik. Akan aku coba"
"Bagus. Berhati-hatilah"
Aku bangkit berdiri dan meninggalkan
pria tua itu. Speperti biasa, tatapnya tetap kosong meski sedang terjadi
perpisahan.
Sebelum aku keluar dari tanahnya,
dia berkata "Siapa namamu?"
Aku menoleh kea arahnya "Namaku
Jaka"
"Berjuanglah Jaka"
"Jika aku ingin menemuimu,
jalan mana yang harus aku ambil?"
"Cukup percaya kepada dirimu
sendiri. Jika kamu sudah melakukannya, kamu akan menemukan tanahku ini"
"Baiklah. Aku pergi"
Pria tua itu melambaikan tangan dan
sedikit tersenyum
Perjalananku dipenuhi pepohonan yang
sangat lebat. Diperjalanan, aku sesekali melihat sekeliling. Kadang kekiri,
kekanan, keatas, dan kebawah. Entah berapa lama aku berjalan. Saking asyiknya
aku memandangi sekitar yang begitu rimba dan hijau. Pantas pria tua itu betah.
Rupanya di sini memang nyaman dan tenang. Jalanan setapak yang mungkin pria tua
itu sering lewat sini. Di sisi kiri dan kanan pepohonan menjulang tinggi seprti
di taman. Binga-bunga di bawah pohonnya yang bermekaran sangat indah. Dan sinar
matahari yang tertutup dedaunan
menerangi jalan seperti lampu di panggung. Ingat dengan perkataan pria
tua itu, aku menoleh kebelakang. Aku kaget ternyata dibelakang sudah tidak ada
jalan setapak. Hanya jalan buntu. Aku menoleh lagi kedepan dan jalan setapak
itu masih panjang.
The Survival BAB III: Pria Berambut Gimbal