Hari
senin merupakan hari yang sangat dibenci oleh semua orang. Baik pelajar maupun
pekerja. Bagi para pelajar hari senin merupakan awal minggu yang membosankan.
Sebab di hari senin mereka akan melaksanakan upacara bendera (jika tidak ada
halangan) yang sangat membosankan bagi kebanyakan pelajar baik tingkat SD, SMP,
maupun SMA/K. Mereka biasanya malas membawa dasi dan topi. Terlebih anak
laki-laki yang bisa saja kena razia rambut panjang. Bagi yang rambutnya panjang
biasanya mereka tidak ikut upacara dan bersembunyi di kantin sambil siap siaga
seperti tentara sedang berjaga di pos. Di kalangan pekerja juga tak kalah
membosankan. Dimana mereka sudah libur hari sabtu dan minggu (bagi pekerja
kantoran) dan libur hanya hari minggu bagi pekerja yang lainnya (tergantung
perusahaan).
Begitulah yang dirasakan oleh Udin. Pemuda berusia
dua puluh dua tahun dan masih bujang menunggu kekasih hati datang. Badannya
tinggi kurus, kulit sawo matang dan rambutnya selalu rapi mengkilap disisir ke
kanan. Matanya kecil dan sikapnya yang kalem dan polos yang kadang
senyum-senyum sendiri saat mandi membuatnya sangat berarti. Udin bekerja di
sebuah perusahaan mini market yang terkenal menjamur dimana-mana sebagai MRO
(Member Relation Officer) alias Sales. Tugasnya adalah menawarkan barang-barang
seperti sampo, sabun, minuman, rokok, dan lain sebagainya kepada warung-warung
kecil dan menengah. Dia sudah punya langganan karena sudah hampir dua tahun dia
bekerja sebagai MRO. Namun sistem target membuatnya kebakaran jenggot jika
target perhari tidak tercapai. Namun Udin tetap optimis kalau dia akan suskses.
Pagi ini di hari senin, Udin sudah siap berangkat
kerja. Dia sudah memakai seragam kerjanya beserta celana jeans abu-abau gelap
dan sepatu hitam. Di kamar dia sedang menyisir rambutnya yang mengkilap oleh
minyak rambut orang-aring kesayangannya. Dia keluar kamar dan berpamitan kepada
neneknya. Nenek paruh baya yang selalu mengunyah daun sirih. Nenek Kino,
begitulah orang-orang memanggilnya. Udin tinggal bersama nenek Kino. Rumahnya
sederhana, tidak jelek juga tidak bagus. Mungkin hanya gentengnya saja yang
sering bocor terlihat jelek. Ayahnya sudah meninggal lima tahun yang lalu dan
Ibunya pergi ke luar negeri jadi TKW.
“Hati-hati dijalan. Jangan lupa berdo’a dulu”. Kata
Nenek Kino dengan logat sunda yang kental.
“Iya atuh Nek. Udin berangkat dulu”.
Udin mencium tangan neneknya lalu mengucapkan salam.
Udin bergegas ke luar dan mengeluarkan sepeda motor dengan box besar berwarna
merah di belakangnya. Motor ini milik perusahan yang disediakan untuk para Sales.
Dinaikilah sepeda motor itu lalu dia nyalakan mesinnya dan melajulah ia ke mini
market tempatnya bekerja.
Sesampainya disana, Udin mengisi boxnya dengan
barang-barang yang akan dia jual ke warung-warung. Ada juga barang pesanan dari
pelanggannya. Udin tancap gas menyusuri jalanan beraspal yang panas dan
berdebu. Seperti biasa, dia menawarkan barang dan mengantarkan barang pesanan
kepada warung langganannya. Saat dia menyusuri jalan utama Desa, dia berhenti
di sebuah gang uang lumayan besar yang bertuliskan Gang Bpk. Sukonto di papan
kecil depan gang. Dia melihat-lihat apakah ada warung yang bisa ia tawarkan
barang atau tidak. Sebelumnya Udin selama ini belum pernah masuk gang ini
karena dia berpikir tidak ada warung di gang ini. Namun kali ini Udin sangat
penasaran dan ingin masuk ke gang ini.
Siapa tahu ada warung dan sedang kehabisan stok barang.
Lampu sein
kanan ia nyalakan. Ia melihat kaca sepion menunggu jalanan kosong. Setelah itu
ia berbelok ke kanan dan segera menyusuri gang ini. Sekitar tiga ratus meter,
dia menemukan warung kecil di sebelah kiri jalan dan di depan sebuah rumah
besar berpagar besi. Dia berhenti dan menawarkan barang yang dia bawa. Seorang
wanita muda berambut panjang sedang duduk didepan warung menyambut kedatangan
Udin. Dia sudah tahu maksud kedatangan Udin mau menawrkan barang. Beruntung, Wanita
itu sedang kehabisan barang. Beruntung juga Udin membawa barang yang sama
seperti si pemilik toko inginkan. Walaupun tak semua dan berjanji besok akan
dia bawakan.
Setelah bertransaksi, Udin melihat –lihat gang.
Matanya terpaku kepada rumah besar bercat warna butih tepat didepan warung.
Pagar rumah ini berwarna hitam dan tinggi. Pintu gerbangnya juga berwarna hitam
dan tinggi. Udin melihat ada dua mobil sedang terparkir dihalaman sebelah kiri
rumah itu. Satu mobil seperti mobil keluarga berwarna silver dan yang satunya
lagi berwarna merah jambu yang agak kotor. Pintu rumahnya ganda dan besar
seperti pintu istana. Di tengah halaman dekat gerbang, terdapat kolam ikan
dengan hiasan batu yang bertumpuk dengan air yang mengalir kebawah. Dia
membayangkan mempunyai rumah sebesar ini suatu hari nanti.
Tak lama setelah itu, terbukalah pintu rumah rumah
itu. Seorang gadis cantik keluar. Pipinya agak tembem, tubuhnya gak gemuk (tapi
tidak keliahtan gemuk mungkin lebih tepat padat berisi), rambutnya lurus sebahu
dan ujunggnya agak menekuk. Dia hanya memakai kaos berwarna merah dan celana Hotpant. Seketika khayalan udin lenyap
melihat gadis itu. Mata Udin terus melihat gadis itu tanpa berkedip. Gadis itu
berjalan menuju kolam. Lalu dia mengambil selang dan memutar keran. Airpun
menyembur keluar dari selang dengan derasnya. Dia berjalan menuju mobil
berwarna merah jambu dan mencuci mobil itu sambil terlihat sedikit senyum
manisnya. Udin terus melihat gadis itu sambil tersenyum dan matanya pun hanya
tertuju pada gadis itu.
Wanita itu keheranan melihat Udin yang dari tadi
berdiri seperti patung. Dia menghampiri Udin.
“Kamu teh kenapa?”. Tanya Wanita itu.
Udin hanya diam. Pemilik warung melihat wajah udin.
Dia langsung melihat ke arah dimana mata Udin melihat. Pemilik Warung langsung
tahu kenapa Udin dari tadi diam seperti patung.
“Kamu suka yah sama cewek itu?”. Kata dia dengan
nada menggoda.
Sekali lagi, Udin hanya diam dan mengabaikan Wanita
itu. Karena agak kesal, dia bertanya lagi.
“Heh Udin, kamu teh denger gak saya nanya apa?”.
“Iya denger kok”. Kata udin tersenyum “Dia cantik
banget teh”. Sambungnya.
Pemilik warung mencubit pinggang Udin.
“Sakit atuh teh”. Udin memegang pinggangnya yang
kesakitan.
“Kamu itu gak denger ya sanya nanya apa? Saya tadi
nanya, kamu suka ya sma cewek itu?”.
“Hhhmmm....Iya kok. Eh maksudnya enggak kok”. Udin
tergagap.
“Halah, udah jujur aja sama teteh mah”.
“Iya teh”. Udin mulai malu-malu.
“Dia itu anak Bapak Sukonto. Pak Mantri orang
terkaya di desa ini”.
“Oh gitu. Pantes gang ini namanya sama kayak nama
bapaknya”.
“Iya makanya. Dia namanya Wulan. Sekarang sedang
kuliah kebidanan dan lagi tahap akhir. Bentar lagi lulus dan mau langsung jadi
pegawai di Puskesmas Desa”.
Udin hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Eh teh Desi, aku pulang dulu ya, udah siang nih”.
“Ya udah ati-ati dijalan”.
Sepanjang jalan saat pulang, Udin terus tersenyum
membayangkan wajah Wulan. Dia tersenyum sambil mengendarai motor. Giginya
terlihat saat dia tersenyum. Orang-orang dipinggir jalan melihatnya keheranan. Karena
mengendarai motor sambil melamun, hampir-hampir dia mau menabrak tukang bakso
di jalan.
Sesampainya dirumah, dia lansgung ganti baju dan
makan bersama neneknya. Neneknya juga keheranan melihat cucunya senyum-senyum
sambil makan. Neneknya mengira dia kesambet. Perlahan Nenek Kino pergi kedapur
mengambil segelas air. Dia duduk didepan Udin. Nenek Kino komat-kamit dan
menenggak separuh air di gelas itu. Lalu, Bruuussshhhh.
Airnya dia semburkan ke wajah Udin. Udin seketika kaget dan bengong melihat
kelakuan neneknya.
“Kamu teh kesambet?”. Tanya Nenek Kino dengan wajah
heran.
“Enggak”. Jawab udin sambil mengusap wajahnya.
“Terus kenapa kamu senyum-senyum sambil makan kayak
jelema gelo?”.
“Udin pengen kawin mak”.
“HAH?”. Teriak Nenek Kino karena kaget.
Nenek Kino segera menenggak sisa airnya yang ada
digelas lalu menyemburkannya lagi dan Bruuussshhhh.
Udin menutup mata saat Nenek Kino menyemburkan air untuk yang kedua
kalinya. Lalu Udin mengusap wajahnya lagi.
“Kamu teh kesambet setan perawan Din”. Nenek Kino
Panik.
“Udin serius mak”.
“Emangnya ada yang mau sama kamu Din?”.
“Nggak ada mak”.
“Heuuhhh”. Nenek Kino Menggigit daun sirih.
“Tapi Udin mau sama dia mak”. Kata Udin dengan
senyuman lebar membuat giginya yang putih terlihat.
“Aduh Udin, tapi emak teh ngerti kamu teh kan
sekarang udah dewasa. Udah cukuplah umru kamu buat kawin. Tapi emang kamu udah
kenal belum sama ceweknya?”.
“Belum mak”.
“Heeuuhhh”.
“Udin baru lihat aja. Belum ketemu”.
“Samperin dulu atuh. Kalau dia mau, kan nanti emak
bisa bilang ke mamah kamu yg di Taiwan kalau kamu mau kawin”.
“Iya mak”.
Malamnya Udin tidak bisa tidur memikirkan wajah
Wulan yang canting. ‘Akhirnya kekasih hati pun datang’. Kata udin didalam hati.
Samapi tengah malam dia terus memikirkan Wulan. Wajahnya, rambutnya, cara
berjalannya, dan senyumnya. Semua yang dia lihat siang itu dia coba
membayangkannya lagi. Hinnga akhirnya dia mulai mengantuk. Matanya terpejam tapi
mulutnya tetap tersenyum berharap mimpi bertemu Wulan si calon Bidan.
Keesokan harinya duin bangun lebih awal dari
biasanya. Tidak seperti biasanya dia bersemangat. Setelah bersalaman dengan
neneknya, dia bekerja seperti biasa. Setelah selesai mengantar pesanan dan
menawarkan barang, dia langsung bergegas pulang. Sengaja dia tidak datang ke
warung Teh Desi karena dia ingin mengantarkan pesanan Teh Desi setelah dia
pulang supaya dia bisa memakai motor peninggalan ayahnya.
Udin bersiap-siap di kamarnya. Persiapan seperti
rambut rapi mengkilap di sisir ke kanan, kemeja coklat panjang yang dimasukkan
ke celana hitam. Sepatu tak lupa dia semir. Sepatu satu-satunya yang
menemaninya bekerja. Parfum non-alkohol yang dia oleskan ke ketiak, pundak,
leher, pergelangan tangan, dan ke kemejanya. Seperti biasa, Udin keluar kamar dengan
sangat rapi dan wangi. Neneknya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
cucunya yang sudah tumbuh dewasa.
Udin mengeluarkan motor peninggalan ayahnya yang
sering dia pakai utnuk kemana-mana. Motor tua namun bodinya masih bagus.
Dinyalakanlah tombol Starter tapi
motor tak kunjung nyala. Udin lalu me-slah mtoronya. Saat me-slah, terdengar
suara Ngik! Ngik!. Sampai empat kali nge-slah,
barulah motor itu menyala. Udin bernagkat dengan membawa barang pesanan Teh
Desi.
Saat sampai di warung Teh Desi, udin masih tersenyum lebar. Teh Desi keheranan sekaligus
kaget melihat penampilan si Udin. Udin langsung menghampiri Teh Desi yang
sedang duduk sambil minum dengan membawa sepuluh bungkus minuman Sachet.
“Din, kamu teh kenapa pakaiannya kayak gitu?”.
Tanaya teh desi. Kedua alisnya menyatu.
“Mau ketemu Wulan teh”.Jawab Udin dengan tersenyum
lagi.
Teh Desi yang tadi sedang minum tiba-tiba tersedak
mendengar jawaban Udin.
“Teh Desi ga apa-apa?”.
“Ga, Ga apa-apa. Mana pesanan saya”. Kata Teh Desi
sambil mengusap air di bibirnya.
Udin memberikan pesanan Teh Desi lalu Teh Desi
membayarnya.
“Kamu teh yakin Din?”.
“Yakin atuh teh”.
“Ya udah kamu kesana aja. Wulan baru pulang kuliah
tadi”.
“Baik teh, permisi”.
Udin segera berjalan menuju rumah depan warung Teh
Desi. Teh Desi hanya memperhatikan dari warung. Udin mendekat ke gerbang. Dia
memegang pagar pintu gerbang yang tinggi itu dengan kedu tangannya. Udin
tersenyum sambil melihat-lihat ke sekiling depan rumah itu.
Di dalam rumah, Wulan melihat Udin dari jendela. Dia
tersenyum melihat Udin yang dari tadi juga tersenyum melihat sekeliling rumah.
Wulan pun keluar menghampiri Udin. Melihat Wulan keluar, udin langsung salah
tingkah. Tapi dia mencoba setenang mungkin.
“Ada yang bisa aku bantu A?”. Tanya Wilan denga
senyum manis.
“Ah...eng...nggak, cuman mau lihat-lihat aja”. Jawab
Udin dengan gugup.
“Ohh. Mau masuk?”.
Udin berpikir sebentar lalu berkata “Kalau nanti
malam boleh?”. Tanya dia.
“Boleh, tapi malam minggu aja. Besok aku masih sibuk
di kampus”. Jawab Wulan dengan senyuman manis.
“Yeess”. Kata Udin dalam hati. “Ya udah aku pulang
dulu ya? Malam minggu aku kesini lagi”.
“Iya”. Kata Wulan sambil mengangguk.
Wulan segera masuk ke dalam rumah dan udin juga
segera menuju motornya. Dia menekan tombol Starter
motornya namun tak kunjung menyala. Akhirnya dia me-slah motornya lagi
hingga empat kali dengan suara Ngik!
Ngik!. Udin senyum sambil menundukan kepala tanda dia berpamitan. Teh Desi
hanya terdiam melihat kejadian yang absurd itu. Lalu dia menghabiskan sisa airnya
dengan cepat.
Malam minggu telah tiba. Dulu malam minggu adalah
malam yang bias-biasa saja bagi Udin. Tapi malam minggu kali ini berbeda. Malam
minggu kali ini dia serasa sama seperti muda-mudi pada umumnya. Dandanannya
tidak berubah. Hanya saja kali ini dia memakai kemeja panjang warnabiru muda
dan dasi kupu-kupu nerwarna merah. Selain minyak wangi, keteknya sekarang ia
olesi dengan deodoran yang baru dia beli kamarin. Dandan sudah rapi dan wangi,
saatnya berangkat.
Neneknya sedang menunggu diluar sambil mengunyah
daun sirih. Saat udin keluar, neneknya Cuma memberi nasehat jangan melakukan
hal yang tidak-tidak saat dirumah wulan. Dan neneknya suuruh membawa bingkisan
berupa pisang satu sikat yang sudah dimasukkan kedalam kresek hitam.
“Bawa ini. Buat orang tuanya wulan ya?”.
“Iya nek. Udin berangkat dulu, takut kemaleman”.
Udin menekan tombol Starter tapi motornya tak amu menyala seperti biasa. Dia kemudian
me-slah motornya lagi dengan suara Ngik!
Ngik!. Setelah menyala udin berangkat dengat hati gembira.
Sesampainya di pintu gerbang rumah Wulan, Udin turun
dari motornya. Terlihat warung Teh Desi sudah tutup. Dia melihat beranda rumah
wulan yang sepi dan diterangi lampu taman yang remang-remang. Suara gemericik
air di tumpukan batu kolam membuat suasana sepi semakin terasa. Tak berapa lama
Wulan yang memakai baju tidur membuka pintu gerbang dan mempersilahkan udin
masuk. Saat memasuki ruang tamu, betapa kagumnya Udin melaihat kemegahan rumah
itu. Ruang tamu yang megah dan diterangi oleh lampu gantung bundar yang besar
dan indah. Sofa empuk berukiran Jepara. Ruangan yang benar-benar wangi yang
membuat udin menghirup udara sambil menutup mata. Di sisi kiri tembok terdapat
lukisan Ka’bah yang sangat besar dan hampir menutupi tembok. Karpet di ruang
tamu ini begitu lembut dan halus. Di ruangan depan, yang terpisah oleh lemari
besar yang berisi pajangan mewah, terdapat ruang keluarga dengan televisi
sebesar 70 inci.
Wulan mempersilahkan Udin duduk.
“Tunggu bentar ya, aku mau buat minum dulu”. Kata Wulan yang
langsung pergi.
Udin Hanya mengangguk.
Tak berapa lama, seorang Ibu keluar dan menghampiri
Udin. Ibu itu berpenampilan sangat rapi. Kerudung warna merah yang ia pakai dan
baju tidur berwarna hijau membuatnya seperti kembang Ros yang sedang mekar.
“Lagi main A?”. Tanya Ibu itu dengan sopan.
Udin langsung mencium tangan Ibu Itu dan berkata
“Iya Bu”.
“Ohh. Eh itu bawa apa?”. Ibu itu menunjuk ke kresek
hitam yang dari tadi Udin bawa.
“Ini pisang dari si Emak. Kamerin abis panen pisang
di belakang rumah”.
“Ya udah atuh simpen aja di luar dekat pintu
gerbang. Nanti juga ada yang ngambil”. Ibu itu tersenyum lg dengan sopan.
“Oh iya Bu”.
Udin keluar dengan membawa keresek hitam yang berisi
pisang. Lalu dia masuk lagi. Saat masuk, Wulan sudah duduk disebelah Ibu itu.
“Kenalin, ini mama aku. Namanya Ibu Ros”.
“Udah kenal tadi”.
“Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?”.
“Saya Udin Bu”.
“Kamu kerja apa?”.
“Saya kerja jadi MRO Bu di mini market di desa”.
“MRO teh apa?”.
“MRO teh Member Relation Officer”.
“Member Relation Officer itu apa?”
“Member Relation Officer itu Sales Bu”.
“Ohhh”. Bu Ros mengangguk. “Gaji kamu berapa?”.
Lanjutnya.
“2,9 juta Bu. Kadang harus Nombok[1].
Paling sisa satu juta setengahlah”.
“Sanggup biayain si eneng?”.
“Sa...sanggup Bu”. Udin mulai gugup.
“Kemaren-kemaren mah yang main kesini teh ada yang
bawa Pizza, Spageti, terus apa lagi Ibu lupa. Pokoknya yang paling biasa teh
ayam goreng yang ada di tipi-tipi tea”. Kata bu Ros dengan senyuman sopannya.
Udin hanya tersenuyum lalu berkata “Iya Bu. Itu juga
pisang hasil panen. Gak banyak sih”.
“Udah mah biarin si aa minum tehnya dulu”. Kata
Wulan
“Oh iya silahkan diminum”. Bu Ros mempersilahkan
Udin minum.
Udin meminum satu atau dua teguk teh buayan wulan.
Teh yang sangat harum dan manis yang pas membuat tenggorokan Udin terasa hangat
dan nikmat.
“Wulan masih kuliah?”. Tanya Udin kepada Wulan.
“Iya mas...”.
“Wulan masih kuliah di AKBID. Bentar lagi lulus lagi
tahap akhir ya kan neng?”. Potong Ibu Ros.
“Oohh. Sukur atuh. Semoga cepet lulus”.
“Eh udah malem nih. Ga pulang aja?”. Tanya Bu Ros
dengan senyuman sopannya lagi.
“Oh iya Bu. Kalau giu Udin pamit Dulu”.
Udin pamitan dan keluar ditemani Bu Ros Dan Wulan.
Saat samapi di pintu gerbang, pisang yang ia taruh sudah tidak ada lagi.
‘Mungkin sudah ada yang ngambil’. Kata Udin dalam hati.
Saat melewati pintu gerbang, Bu Ros menutup pintu
gerbang dengan buru-buru dan menguncinya. Dia menarik tangan Wulan dan
membawanya masuk ke rumah. Saat tangannya ditarik, Wulan menoleh ke belakang
melihat Udin yang sedang me-slah motornya dengan suara Ngik! Ngik!.
Udin yang sedang me-slah motor juga tersenyum kearah
Wulan. Bu Ros dan Wulan sudah masuk ke rumah. Udin langsung pulang menuju
kerumahnya dan tak sabar ingin menceritakannya kepada neneknya.
0+0 = CINTA: Bagian I