Tahun yang berat masih terus bergulir dan menerpa bagai ombak. Jika
melihat ke belakang dan fakta yang ada ketika aku selalu menyusuri jalanan kota
Bandung sendirian ditemani topi kesayangan, rasanya aku memang ditakdirkan jadi
begini. Begitu terus.
Ketika lelah, kadang aku mampir ke minimarket membeli
minuman. Istirahat sejenak dengan duduk di teras minimarket atau trotoar jalan
sambil minum dan mengelap keringat, sudah jadi konsumsi wajibku setiap hari. Bahkan
seragam kerja pun sampai lusuh dan sebagian benang bordirnya banyak yang lepas.
Sedikit uang tunai yang aku terima dari pelanggan sehabis bekerja, aku simpan
baik-baik. Aih! Malang nian nasibku.
Di kota kembang ini banyak hal yang aku lalui. Susah senang, asam
garam, dan getirnya pengalaman yang mengerikan telah menghiasi hari-hariku. Yang
tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang ialah ketika aku berusaha
menginginkan sesuatu. Sebenarnya aku cuma iseng dan ingin mengetahui bagaimana
hasilnya. Ternyata tidak menghasilkan sama sekali. Bahkan sampah saja jauh
lebih berharga. Baik serius ataupun iseng, hasilnya sama saja. Jadi, kadang aku
berpikir ada apa dengan diriku. Aku mengejar mimpi, dia lari. Mimpi hampir aku
dapatkan, dia lari juga. Aku tak mengejar mimpi apa lagi. Ada apa?
Fakta menariknya adalah, ketika aku mengenal diriku jauh lebih
dalam lagi, aku semakin sadar bahwa aku tak punya apa-apa.
Mimpi Yang Lari